Jika Lockdown Berkelanjutan, Ini Petunjuk Al-Qur`an
Pendemi ini cara agar
kita semakin mendekat kepada Allah. Selain itu, pelajaran peduli kepada
umat, agar tak suka mencari selamat
Hidayatullah.com | SAAT ini,
orang pada umumnya sedang resah, khawatir, takut dan dihinggapi perasaan tidak
menentu karena virus corona. Tidak ada tahu sampai kapan akan berhenti dan
tidak ada info valid dan pasti siapa gerangan di balik semua ini. Apa ini
natural atau by design.
Sebagai Muslim, di
tengah situasi seperti ini, penulis dengan bismillah mencoba melihatnya dari
sudut pandang al-Qur`an. Mencoba mendaras, menelaah, mentadabburi berbagai
macam kisah yang identik atau secara subtansi mirip dengan kondoisi lockdown dan
bagaimana solusinya.
Penulis akan memulai
dengan tingkatan paling rendah hingga level yang paling tinggi.
Pertama, kasus Nabi Yusuf yang ter-lockdown dalam
sumur. Allah berfirman:
*Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: *Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.* (QS: Yusuf [12]: 15).
Akibar iri hati,
saudara-saudara Yusuf bersepakat untuk menjauhkan dia dari ayahnya (Ya`qub).
Opsi paling ringan adalah diletakkan ke dalam sumur. Menurut data tafsir Ibnu
Katsir, beliau terkurung dalam sumur ini selama tiga hari.
Kisah kedua, Nabi Yunus yang berada dalam perut ikan
lantaran meninggalkan kaumnya. Al-Qur`an menggambarkan:
*Maka ia ditelan oleh
ikan besar dalam keadaan tercela . [142] Maka kalau sekiranya dia tidak
termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, [143] niscaya ia akan tetap
tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.* (QS: Ash-Shaffat [37]: 142-144)
Dalam tafsir Ibnu
Katsir, disebutkan perbedaan pendapat mengenai berapa lama Yunus di perut ikan.
Ada yang mengatakan 3 hari, 7 hari dan paling maksimal 40 hari dan ini yang
masyhur. Berada dalam perut ikan di kedalaman lautan yang sangat gelap.
Ketiga, kisah Ashabul Kahfi yang ditidurkan oleh
Allah dalam gua selama 300 tahun lebih. Demikian penggambaran al-Qur`an:
*Dan mereka (Ashabul
Kahfi) tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi).* (QS. Al-Kahfi [18]:
25)
Ketiga kisah ini
menggambarkan orang yang menghadapi ujian dari Allah. Berada di suatu tempat
yang sebenarnya sangat dijauhi orang. Sepi, sunyi dan taka da komunikasi dengan
pihak luar.
Saat Yusuf di dalam
sumur, tidak ada kepastian bekal makan yang jelas. Demikian juga Yunus, mana
ada makanan siap saji dalam perut ikan, apalagi Ashabul Kahfi yang harus diam
di gua selama 3 abad. Benar-benar kondisi yang jauh lebih dahsyat daripada corona.
Dari semua kisah lockdown yang
penulis dapat dari al-Qur`an ini, ada beberapa hal yang dilakukan mereka saat
menghadapi situasi sulit ini. Pertama, semakin dekat dengan Allah. Yang mereka
takutkan dan khawatirkan pertama kali bukan takut mati atau tak bisa makan.
Tapi justru ketika tidak diperhatikan Tuhan.
Dalam kondisi seperti
itu, mereka semakin memperkokoh iman, mengevaluasi diri, mendapatkan waktu
maksimal untuk lebih intim bersama Allah. Dalam keadaan sesempit itu, mereka
masih memiliki harapan. Di sinilah peran agama. Membuat orang selalu memiliki
harapan di puncak keputus asaan.
Mengapa mereka tidak
khawatir? Karena yakin punya Allah, dan pasti akan dijamin rezekinya dengan
cara yang Allah kehendaki. Tugas hamba adalah berikhtiar sepuncak yang dimampu.
Adapun qaha dan qadar murni prerogatifnya.
Yusuf menghadapai
masalah kedengkian dari saudara-saudaranya? Apa Allah mencampakkannya? Tidak,
itu hanya berlangsung minimal tiga hari setelah itu dia ditemukan oleh kafilah
dagang hingga dijual ke penguasa Mesir hingga bertemu dengan takdirnya menjadi
Bendaharawan Mesir.
Yunus, selama 40 hari
tinggal di dalam perut ikan besar, kalau bukan karena dzikirnya, beliau akan
tinggal di situ sampai hari kiamat. Menurut akal manusia biasa, pasti mati.
Rupanya, Allah masih menyelamatkan beliau. Lebih dari itu, sekembalinya ke
tempat kaumnya, mereka sudah beriman.
Demikian juga Ashabul
Kahfi, mereka berjuang menegakkan nilai-nilai tauhid. Menjadi buronan kelas
kakap penguasa tiran kala itu. Sampai akhirnya masuk dalam gua dan ditidurkan
selama itu. Ketika bangun, negerinya sudah dipimpin oleh penguasa yang adil.
Dilihat dari sebentar
dan lama lockdown yang mereka hadapi, semuanya mendapat akhir
yang manis. Apa sebab? Pertama, iman yang kuat sehingga tidak larut pada rasa
takut. Kedua, tujuan hidup yang jelas. Ketiga, tidak lepas dari zikir (selalu
on dengan Allah). Keempat, berjuang untuk umat. Kelima, punya idealisme besar
berupa: tidak mendapatkan dunia dengan berbagai perniknya tidak masalah, asal
masih diperhatikan oleh Allah. Ketika Allah sang Pencipta yang menjadi muara
harapan, maka segala cintaan-Nya akan tunduk pada iradah-Nya. Yusuf yang
tadinya dibuang menjadi anak gedongan, segala kebutuhan Yunus dipenuhi bak
sedang berada dalam kapal selam, Ashabul Kahfi tidur nyaman dan nyenyak. Waktu
yang sudah tiga abad itu hanya terasa semalam.
Dari ketiga kisah itu,
penulis mengambil hikmah:
Pertama, dalam situasi sesulit apapun jangan dikuasai
oleh rasa takut berlebihan. Allahush Shamad (Allah tempat
bergantung). Sebab, kalau hati sudah putus asa, maka tak ada jalan untuk
bangkit.
Kedua, semakin mendekat kepada Allah. Boleh jadi,
ini adalah satu momen rahmat yang disediakan oleh Allah, agar hamba-Nya semakin
dekat kepada-Nya.
Ketiga, menebarkan optimisme, peduli kepada umat
serta tak mencari selamat sendiri.
Demikianlah sudut
pandang orang Muslim: yang ditakuti hanyalah Allah. Kalaupun setelah melakukan
ikhtiar, tapi tetap meninggal dalam suasana ujian, maka itu bernilai syahid.
Kalau masih diberi kesempatan hidup, berarti Allah masih memberi kesempatan
untuk menyiapkan lebih banyak bekal menuju akhirat.*/ Mahmud Budi
Setiawan
Sumber : Hidayatullah.com
Editor :
Fardin